Kala Hujan
—Masih
satu, masih sama. Tidak ada yang harus berubah. Ketika aku mengingat
dan menelusuri kembali jejak-jejak yang telah lama kau tinggalkan.
.
.
"Sera!"
Hangat
suaranya yang memanggil namaku, dengan semilir angin musim gugur saat
itu, matahari yang hangat dengan keindahan dedaunan kering yang berguguran di antara kita.
Masih sangat melekat di ingatanku.
"Kau kemana saja? Hebat sekali kau membuatku menunggu selama dua jam! Kemana saja kau?"
Garis wajah
kerasmu ketika memarahiku, suara melengkingmu yang selalu memekakan
telingaku. Masih selalu terdengar seperti alunan melodi di telingaku,
lembut dan indah. Melodi yang membuat semua orang hanyut akan
keindahannya. Ingin ku ulang terus. Walaupun kenyataan yang ada dulu, itu sangat menggangguku.
"Shopping?! Kau menyuruhku
datang kesini dua jam yang lalu padahal kau baru saja shopping?!
Maksudmu apa? Aku tidak mau dipermainkan orang pendek yang nggak jelas sepertimu!"
Semua
protes kurang ajar yang terlontar dari bibirmu.. Aku merindukannya.
"Aku pesan cappuccino, kau pesan apa? Strawberry cake saja, mau?"
Aroma
cappuccino yang melayang-layang di udara, dan aneka sensasi dari
strawberry-cheese cake setiap kita datang ke kafe itu.. Nyamannya tempat duduk favorit kita di sudut kafe tersebut, bahkan masih tercap
jelas di inderaku.
"Ser, jangan marah dong.. Aku 'kan hanya mau tahu kalau... Heh! Kenapa malah cuekin aku, sih!!"
Bujukanmu yang manja, bahkan yang menyebalkan sekalipun.. Aku tetap menyukainya. Aku suka. Tidak ada satu halpun yang tidak kusukai tentangmu, meskipun semua tentangmu lebih dominan negatif.
Ketika
hari itu hujan, ketika hari itu gelap, ketika alam seakan berkabung..
Akan kita. Kau mengecup bibirku lembut, ketika air mata kepahitan
berbaur jadi satu dengan asinnya tetesan hujan ke dunia.
Aku ingat.
Itu kali terakhirnya aku melihatmu.
Kecupan terakhir itu.. Tanpa hasrat.
Hanya semakin memperkuat kata perpisahan kita... yang katanya untuk selamanya.
"Sera.."
saat itu, aku bahkan tidak ingin memandang wajahmu.. Karena aku yakin
kita akan bertemu lagi, memandangmu pun tidak perlu. Aku hanya terus
memelukmu, memeluk tubuh dingin itu di kolong langit yang basah karena
sang mega menangis, tepat membasahi sebuah kalbu yang gersang dan tandus akibat kemarau panjang.
"Kumohon,
ingatlah.. Bahwa satu-satunya orang yang memperlakukanmu tidak
selayaknya seperti manusia itu hanya aku.. Ingat bahwa aku hanya seperti
itu kepadamu.. Tidak ada yang lain, dulu, sekarang bahkan sampai
nanti.." dan aku hanya terdiam. Kau ingin aku hanya mengingatmu saja.
Tanpa kau perintah juga aku tahu apa yang harus dan akan ku lakukan.
Bodoh.
"Aku akan terus memukulmu dalam pikiranku, kelak. Kau juga akan terus dingin kepadaku. Tidak ada yang harus berubah." Untuk pertama kalinya ia mengusap lembut wajahku, memandangku sendu, dan menyandarkan dahinya dengan milikku.
Memejamkan mata, hanya itulah yang mampu lakukan.
Dingin.
Aku tidak bisa merasakan tanganku, yang aku rasakan hanya kedinginan dan kebekuan yang bahkan menyeruak masuk ke pori-pori dan melumpuhkan tulang-tulangku.
Rasanya sakit.
"Aku harus pergi, jaga dirimu baik-baik."
Sakit sekali.
Kalau diizinkan untuk memohon, satu-satunya permohonan yang akan aku mohon hanyalah untuk mampu menghentikan waktu, dan memutar kembali jarum masa ke masa yang aku inginkan lagi.. Agar semua tetap sama, tidak ada yang harus berubah.
"Ser.. Kita harus pergi sekarang," Dira menepuk bahuku, mengusapnya pelan dan berhasil membuyarkan lamunanku. Daripada menjawab aku lebih tertarik untuk kembali termenung sambil sesekali bersenandung. Mungkin itu akan menjadi kegemaran baruku.
"Ser.. Upacara pemakamannya akan dimulai sebentar lagi.." timpalnya dengan nada lirih. Senandungku berhenti, pandanganku kembali ku layangkan pada satu titik. Aku tahu betul penampilanku saat ini bagaimana, Dira memandangiku dengan mata berair dan segera memelukku. Tangisannya pecah, namun aku sudah tidak kenal lagi dengan namanya air mata.
Aku tersenyum, bangkit dan melepaskan pelukan Dira. Sekilas kupandangi cermin, raga yang mati ada disana, dengan senyuman di wajah pasi dengan pakaian serba hitam. Mata gadis itu sembab. Entah penderitaan macam apa yang dialami batinnya.
Setelah meyakinkan Dira dan lebih tepatnya meyakinkan diri sendiri dengan setengah mati, akhirnya aku bernyali juga melangkahkan kakiku menuju tempat terakhirmu, aku tersenyum melihat potret ceriamu itu. Mungkinkah kau layangkan lagi senyuman itu untukku?
Kau
dan aku, memiliki hubungan lebih dari batas khayal tanpa satu kata yang
mengikat. Aku hanya temanmu, atau sahabatmu, atau sekedar partner untuk
menindas satu sama lain, dan.. kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengutarakan perasaan masing-masing sama
sekali.
Kau dan aku, terikat oleh benang
merah kehidupan bernamakan takdir.. Takdir yang tidak mengizinkan kita
untuk jujur pada diri sendiri, meskipun kita sama-sama tahu dengan
kebenaran dan kenyataan yang ada.
Semua, semua yang kita lalui masih terekam jelas di ingatanku. Seperti enggan untuk beranjak, lain hal dengan eksistensimu.
Aku akan merindukanmu.
Ketika
hujan datang, aku tahu kau ada disini.. Memukulku di pikiranmu, dan aku
akan tetap dingin padamu.. Dalam batas ruang khayal kita yang tidak
terbatas.
P.S :: Heee...... hasil ketikan lama yang mungkin gue bikin pas SMP atau entah kapan dan di remake ulang sama gue, ternyata banyak yang bolong dan harus di tambal..
Dan gue nggak ngerti, kenapa hasrat gue untuk ngepublish cerita ini di blog itu JAUH lebih BESAR daripada ngerjain tugas kimia----yang baru bisa keisi 5 nomor dari hampir 40 soal--atau packing--no, packing itu merepotkan--? Yah begitulah, hidup gue ini serba random.. XD
Well, I'm glad to blogging again here!
wuiih sedih banget ceritanya dramatiss :" (y)
BalasHapus